bnrt

Eksistensialisme Karl Jaspers; Humanisme Baru

Sabtu, 31 Maret 2012


                 
Karl Jasprs dilahirkan pada tanggal 23 Februari 1883 di Oldenburg, Westphalia. Ayahnya seorang ahli hokum dan menjabat sebagai presidentdirektur sebuah bank; sedangkan ibunya Henrietta Tantzen, berasal dari keluarga petani. Pada tahun 1910 ia menikah dengan Getrude Mayet, putrid keluarga Yahudi yang saleh. Karl Jaspers mempunyai latar belakang pendidikan yang bermacam-macam,dan oleh karena belakangnya ini maka filsafatnya juga menunjukan keluasan,yaitumeliputi berpa bidang seperti  ; psikologi, politik, pengaruh teknologi terhadap kehidupan manusia,dan kemanusiaan, dan sejumlah bahsan-bahasan filsafat-filsafat masa sebelumnya.akan tetapi Karl Jaspers menjulang diantara tokoh-tokoh filsafat pada abad ini sebagai tokoh eksistensialis, yang mempunyai corak tersendiri. 

B.     Pemikirannya
Pada tahun 1919terbitlah karya besarnya yang berjudul psichologie der Weltanschauungen. Dengan karyanya ini maka Jaspers lebih nyatatampil sebagai seorang filosof. Walaupun pada tarap iniJaspers belum menyusun suatu filsafat yang khas filsafatnya sendiri, namun secara tidak langsung Jaspers sudah mulai mendapatkan landaasannya untuk kemudian membangun filsafatnya sendiri yang tidak bertentangan dengan anggapannya mengenai adanya pandangan- dunia yang berbeda-beda, tidak tunggal dan tidak universal, apalagi Mutlak.   
Sesuai dengan anggapanya bahwa perbedaan-perbedaan pandangan dunia itu menimbulkan juga perbedaan-perbedaan dalam pengamatan terhadap kenyataan dan penerimaan kebenaran, maka Jaspers menolak kemungkinan disusunya suatu ontology yang universal. Karena baginya ontology yang demikian itu tidak mungkin,sebab pandangan kita  tentang apa yang esensial itu akan berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan karena karena dunia yang kita amati adalah selalu tampil sebagai pengalaman pemisahan subyek-obyek ; kita sebagai subyek dunia sebagai obyek. Dan sebagai subyekkita berbeda-beda,oleh karenanya maka dalam pengamatan kita masing-masing dunia kita pun berbeda ragamnya.
 Setiap mansia dalam situasinya sendiri-sendiri tampil dengan kekhususannya dalam mengamati dunianya,oleh karena itu tidakmungkin kit samai pada penemuan esensi yang tunggal, yang universal dan mutlak.
Jaspers tidak menolak bahwa esensi yang mutlakitu ada, akan tetapi ia menegaskan bahwa tidak akan mampu menemukannnya dalam dunia yang kita hadapi sebagai obyek. Selamakita mendalami dunia ini dengan penghayatanpemisahan subyek-obyek, makadunia yang hadapi adalah dunia yang fenomenal semata-mata ; yaitu dunia sebagaimana tampilannya pada kita, atau : suatu dunia yang kita diami ini, tampil dengan sesuatu pengaturan dimungkinkan oleh kemampuan sitesis daripada intuisi dan pengertian kita.Jaspers memperingaktkan dalam hal ini bahwa :
“segala sesuatu yang ada harus kita obyektifikasikan berupa bentuk-bentuk, kita jadikan fenomen bagi kita, adanya sebagaimana kita ketahui, dan adanya pad sendirinya. Apa yang ada itu bukan obyek di hadapan kita,…. Bukan juga subyek.”
Dikotomi subyek-obyek ini akan menyertai kita slalu dalam usaha menamati, memahami dan menghayati kenyataan. Juga dalam hal kita mengamati diri kita sendiri. Jaspers menggunakan sutu contoh,betapa kita sebenarnya membelah diri bilamana kita melakukan pengamatan terhadap diri endiri.kalau kita menjadikan diri kita sendiri sebagai obyej pemikiran, maka sebagian dari diri kita itu kita hayati sebagai obyek. Dengan kata lain :kita sebagai subyek memikirkan tentang diri kita asebagai obyek,dan sebagai obyek kita adalah sesuatu yang lain dari kita sebagai subyek. 
Pandangan Jaspers tentang Tuhan tidaklah mudah dijelaskan dalam suatu pengaturan yang ringkas. Namun akan coba uraokan sebaik mungkin dalamhaliniia berpendapat bahwa Tuhan kepecayaan adalah Tuhan yang jauh tuhan yang tersembunyi, Tuhan yang tidak bisa dipertunjukan. Oleh karenanya maka saya harus mengakui bahwa saya tidak tahu akan Tuhan, bahakan tak athu saya percata (terhadapnya)
Bagi Jasper manusia adalah suatu kebebasan.dan kita makin sadar akan eksistensi diri kita sebagai kebeasan justru apabilakita dihadapkan pada imperative-imperatif. Demikian jga tanggapannya tentang Tuhan yang antara lain tampil kepada manusia sebagai sumber imperatif-imperatif.oleh karena itu maka Jaspers samapai pada kesimpulan bahwa makin sungguh-sungguh sadar sesorang tentang kebesannya, maka kuat kepastiannya tentang tuhan.
Bagi Jaspers maka Tuhan adalah pula sumber kebebasan,akan tetapi juga dalam kebebasan dalam kebesan Tuhan dapat ditemui. Oleh karena itu, maka Tuhan bagi Jasprs adalah suatu keterbukaan yang kunjung bekudalam penghayatan manusia.
 Sehubungan dengan itu pula Jaspers menolak kekuasaan-kekuasaan para pendeta Geraja yang yang ingin menjajikan gagasan tentang Tuhan sebagai suatu yang sudah berupa “barang jadi”, sesuatu yang sudah pasti. Baginya Jaspers kebeasan yang memungkinkan disadarinya Tuhan sbagai sesuatu yang ada. Tuhan tidak bisa disajikan sebagi obyek,tidak bisa juga dibuktikan dengan argument-argumen belaka. Penyajian tuhan dngan carademikian hanayalah mencoba untuk membirkan kepastian yang final.    akan tetapi juga sekaligus juga tindakan yang mnjadikan Tuhan sebagai obyek dikotomi Subyek-Obyek .
Maka baiginya, eksistensi bukanlah sesuatu yang final. Eksistensi justru tidak berkepastian dan tidak final. Yang benar ialah adanya situasi-situasi batas yang kita almi dalam eksistensi kita masing-masing. Situasi –situasi batas tidak dapat kita hindari ; kta bisa berusaha menhadapi serta mengatasinya, akan tetapi idak mungkin kita menklukannya. Justru mungkin kitalah yang akan diberantakan oleh karenanya. Istilah situasi-situasi bukanlah yng pertamakalinya diungkapan oleh Jaspers, situsi-situsi itu adalah keterkaitan kita pada situasi tertentu; situasionalitas.   Kita bisa menghindarka diri dari suatu situasi,kita bisa melarikan diri dari suatu situasi,namun ini akan berujung pada bahawa kit akan tiba pada situasi lainya. Kenyataan bahawa ada sebagai manusia adalah selalu ada-dalam-situasi tetrtentu tidakmungkin dihindari oleh manusia. “Manusia adalah manusia dalam situasi”.
Demikan juga halnya dengan situasi- batas yang kita alami dengan peristiwa-peristiwa kebetuln yang kita berpengaruh pada rencana-rencana kita. Bisa saja sesorang menginginkan sesuatu, akan tetapi apa yng diinginkan bisa saja berubah secara tiba-tiba tanpa rencana oleh suatu peristiwa yang kebetulan terjadi tnpa rekayasa dan rencana.
Sebagai kenyataan manusia ada sebagai dua segi. Di satu pihak ia ada sebagai suatu fakata belaka, suatu Dasein, akan tetapi di lain pihak ia adalah eksistensi yang kongkrit dalam situasi ruang dan waktu sebagai ekisistensi ia mghayati dirinya sebagai suatu diri yang mengada,” seblt –sein”. Kita bisa mempelajari manusia sebagai Dasein , yaitu dengan menempatkan manusia sebagai obyek pada diri kita. Inilah yang dilakukan ilmu-ilmu pengetahuan yang menyangkut manusia. Ilmu-ilmu pengetahuan ini tidak akan peranah mencapai pegetahuan yang menyeluruh tentang manusia sebgai eksistensi, manusia hanyalah bisa disoroti bebarapa ungkapannya saja. Inilah yang olh Jasprs disebut sebagai “ Eksistensz- erhellung” akan tetapi ada sebagai mnusia tidak berhetnti pada eksistensinya saja : sebagai kebebasan, maka eksistensinya mau lebih lanjut lagi bergerak, yaitubergerak kearah transendensi,atau Tuhan. Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Transendensi atau Tuhan dalah Justru menjadi jainan bagi manusia untuk menghayati eksistensinya sebagai kebebasan.      
Sebagai ekisitensi, manusia sellu menemui dirinya berada dalam situasi tertentu. Lebih dari itu manusia hanyalah mungkin menjalani eksistensinya bilamana ia berda bersama orang-orang lain. Dengan bahasa yang lebih kongkrit Jaspers menegaskan bahwaeksistensi hanya mungkin dalam melalui kehidupan bermasyrakat. Ini bebrati bahawa manusia selalu terlibat dengan peristiwa-peristiwa dalam situasi-situasi yng sisial sifatnya. Cara manusia berhubungan dengan situasi-situasi social ini bisa bermacam-macam. Ia bisa saja menyerah pada segala suatu situasi social tanpa mersa mampu atau perlu mempertahankan dirinya sendiri sebagai sutu kesejatian, dan dengan demikian membiarkan diri  hanyut saja dalam kehidupan bersama tanpa identitasnya sendiri. Bagi Jaspers cara berhubungan dengan situasi social yang demikin itu menggagalkan seseorang untuk tampil dengan kesejatian dirinya.
Salah satu yang khas pada pemikiran eksistensial Jaspers adalah bahwa ia menilai kehidupan bermasyarakat sebgai sesuatu yang positif. Dan ia juga berkesimpulan bahwa salah satu sebab timbulnya krisis dalam masyarakat manusia dewasa ini  ialah dkarnakan makon meratanya corak kehidupan bersama dalam bentuk massa. Dan salah satu akibat yang ditimbulkan oleh bentuk kehidupan massa dalam abad teknologi in adalah despiritualisasi dunia ini serta ditundukannya pada rezim teknik yang maju.  
C.                        
                Penutup
 Apa yang dibahas oleh Jaspers tentang hal-hal tersebut diatas  bertujuan untuk mengajak kita menumbuhkan suatu humanisem baru, humnisme yang mampu mengatasi frustasi-frustasi abad Modern. 

KEMURNIAN FALSAFAH ISLAM


Oleh: Dedi Sutiadi
Kemajuan pemikiran, terciptanya tiang-tiang peradaban islam, terbentuknya masyrakat yang Tamaddun, dan terlahirnya terobosan-terobosan baru yang mampu mengembangkan dan memperbaharui ilmu pengetahuan dengan sangat gemilang yng diawali di abad ke-8 dan 9 lewat gerakan penerjemahan masal untuk seluruh bidang keilmuan dan pengetahuan  bukanlah semata-semata refleksi dari karya-karya yunani yang mereka terjemahkan dan kemudian dipelajari, atau dengan kata lain bukanlah semata-mata kerena membaca buku-buku terjemahan yunani kemudian mereka terinpirasi penuh dari bacaan teks-teks Yuanani itu.

Karena jauh sebelum Islam menemukan karya Yunani di syiria dan Persia, beberapa kalangan masyarakat sudah mengenal suatu peradaban dan menguasi bebrapa ilmu-ilmu praktis seperti Ilmu kedokteran, `Ilmu Falaq (astronomi), Ilmu Kimia, Matematika, dll. Bahkan yang menjadi nilai plus adalah merekapun memahami dan menguasi Ilmu-ilmu agama seperti ; Tafsîr, Fiqh, Teologi, Tasauf, dll. Yang semuanya itu terinpirasikan dari Al-Qur`ân dan Hadits Nabi SAW. Literlak mutlak namun disanalah akal berperan, yang memang Allah simbolkan dengan mengsiratkan kata Al- Hikmah   dalam Al-Qur`ân.

Dengan relitas ini jelas bahwa Pemikir-pemikir Islam bukan mempelajari lalu mejiplaknya, karena tidak setiap hal dipelajari dari sesuatu kemudian ditiru sepuhnya, tentu tidak demikan. Namaun disni Islam dapat membuktikan bahwa Islampun sanggup menciptakan barang baru yang orisinil.

Dalam hal ini kaum muslimin telah berperan dalam dua bentuk ; pertama, sebagai penyelamat warisan-warisan Aristoteles, ptolemi, Galen, dll. Sehingga dapat dinikmati oleh dunia dewasa ini. Kedua, sebgai pencipta yang mampu mengangkat derajat manusia ketika dunia sedang ditutup kegelapan pemikran sehingga munculah islam dengan tamddunnya ke puncak peradaban dunia. Ilmu pengetahuan dengan segala cabang dan rantingnya berkembang pesat sehingga dapat dinikmati oleh manusia sejagad. Segalanya ini merupakan hasil dari zaman terjemah yang telah mendahului kebangkitan ilmu pengetahuan ini.
Kecenderungan kaum muslimîn untuk berfilsafat didahului oleh kecenderungan mereka dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu praktis seperti ilmu Kedokteran, `Ilmu  Falaq (Astronomi), Ilmu Matematika, fisika, dll yang hal tersebut sebelumnya diketahui hanya sebatas pengetahuan deduktif yang belum teruji keontikannya, ilmiah dan ilmiah. Yang memang walau sebatas itu namun  pada masa itu amat berguna di dalam menanggulangi problema yang dialami oleh masyarkat dalam kehidupan sehari-hari. Namun dengan berkembangnya ilmu-ilmu tersebut semakin banyak masalah yang belum terpecahkan, karena itu mereka mempelajari filsafat lewat teks-teks terjemahan Yunani sebagai salah satu usaha dan alat untuk memecahkan masalah ini. Jadi ditekankan bahwa filsafat yunani sekali lagi bukanlah sumber isnpirasi orang muslim untuk berfilsafat dan kemudian meredleksi ilmu-ilmu lainya, namun filsafat yunani merupakan salah satu alat dan metode yang mengarah kesana.

Hal diatas diperkuat bahwa dalam hal ilmu-Pengetahuan, Bangsa Arab (Muslimîn) jauh meninggalkan bangsa yunani. Peradaban Yunani pada esensinya, adalah ibarat sebuah kebun subur yang penuh dengan bunga-bunga indah namun tidak banyak berbuah. Perdaban Yunani itu adalah suatu perdaban yang kaya dalam filsafat dan sastra, tetapi miskin dalam teknik dan teknologi. Karena itu merupakan suatu usaha bersejarahdari Arab dan Yunani Islamik (yang terpengaruh oleh peradaban Islam- NM) bahwa mereka mendobrak jalan buntu Ilmu pengetahuan yunani itu, dengan merintis jalan ilmu pengetahuan baru. Menemukan konsep Nol, tanda Minus, bilangan-bilangan irasionaldan meletakan ilmu kimia baru.

Karena itu, tidak heran kemudian daerah-daerah yang dikuasai Islam lebih maju daripada perkembangan di Yunani sendiri, karena pada sejarahnya Yunani memang sudah tidak mengembangkan Filsafat dan Ilmu-ilmu lainya, bahkan berkesan budaya berfalsafah dan meneliti sudah mereka tinggalkan dan membiarkanya begitu saja. Maka di tengah penjelasan saya tadi bahwa isamlah yang sangat berperan menyelamtkan dan memperkenalkan para tokoh pemikir dan Subtansi pemikranya.

Memang dibanding di Yunani, Filsafat lebih berkembang diluar yunani seperti Mesir, Syria, Persia, India, dan Yudinshapur. Yang terkenal dengan pergerkan Helenisasi dengan paham Helenisasi. Dan disanalah kemudian Islam dengan corak Falsafahnya menjelma menjadi pemikran-pemikran yang falsafi dan memberikan banyak kontribusi dengan berbagai Ilmu pengetahuan, dan menjelma menjadi pemikran yang falsafi dan Qurâni untuk memperkuat prinsip-prinsip Agama Islam.

                                                                                                                               

Ali Syari’ati ; Biografi Politik Intelektual Revolusioner

      A.    Pendahuluan
Terjadinya Revolusi Islam Iran bukan tanpa usaha yang keras dari para tokoh revolusioner dan segenap rakyat Iran. Dimulai dari penolakan akan gagasan konsep Negara Republik yang diglontorkan dan diusahakan secara keras oleh raja Syah sampai berbagai demonstrasi para aktifis dari berbagai kalangan demi usaha menyelamtkan Iran dari Sistem yang sekuler dan lekat dengan westernisasi. Hanya satu yang mereka inginkan kesejahteraan rakyat Iran tanpa hegemoni barat apalagi menjadi penggemar berat bangsa Eropa seperti apa yang telah terjadi di Turki yang begitu sangat sekuler, yakni lewat satu rujukan mutlak yang tidak lagi bisa ditawar yaitu konsep Negara yang merujuk pada Islam semata.
Banyak tokoh sebetulnya yang berperan mengantarkan Iran pada Revolusi Islam Iran yang kokoh dan konsisten dengan system Negaranya. Sebut saja diantaranya Murtadho Muthahari, Ayatullah Khomeini, dan Ali Syari’ati.  Mungkin tiga tokoh inilah pilar utama tetang gagasan revolusi Islam Iran yang penting kita kaji lebih dalam untuk bisa menagkap gagasan terpenting yang mereka tawarkan.  Kali ini pemakalah akan mencoba mengkaji salah satu tokoh penting diatas yakni Ali Syari’ati yang sering digambarkan sebagai Ideolog “Revolusi Islam” Iran.
Yang menarik adalah  makna penting Syari’ati yang tidak hanya terbatas bagi Iran saja, sebab ia adalah salah satu contoh dari suatu generasi baru kaum intelektual dan aktifitas politik berorientasi Islam yang hidup di hampir seluruh dunia muslim masa kini. Ali Syari’ati telah menjadi seorang tokoh Islam Internasional yang gagasan-gagasan dan tulisan-tulisannya ditelaah, doperdebatkan, dan diperbandingkan jauh di luar batas-batas negri Iran. Hal inipun tidak terelakan di Indonesia yang pada tahun 1980-an, banyak orang coba mengkaji dan memperbincangkan karya-karyanya.  




B.     Biografi dan Latar Belakang Keluarga
Ali Syari’ati lahir 24 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, propinsi Khorasan Iran dengan nama Muhammad Ali Mazinani. Dia adalah anak sulung sekaligus anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara, yakni Taherah, Tayebah, dan Batul (Afsaneh).[1]  Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad. Sementara dari pihak ibunya Zahra, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya turut menginspirasi Ali. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri, yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra.
Ali hidup dalam lindungan keluarga penyayang dari masyarakat urban kelas menegah ke bawah. Zahra yang datang dari keluarga pemilik tanah pertanian yang sangat kecil, adalah sesorang yang memiliki dedikasi dan pekerja keras juga memiliki perhatian yang sangat besar terhadap kehidupan religiusnya. Ali dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana, dan tumbuh dengan dibekali pengertian bahwa moralitas dan etika adalah nilai-nilai yang mengangkat status dan kehormatan sosialnya, bukan uang.
Syari’ati adalah sosok yang tumbuh dengan pribadi yang berkarakter. Sifatnya yang tegas, keras, sensitif, kritis, dan kadang temperamental, diakui syariati adalah warisan dari sang ibu. Sedangkan ayahnya menurut Syari’ati adalah guru terbaiknya, ayahnyalah yang telah meberinya percaya diri dengan membekalinya ilmu dan metode berfikir ilmiah serta spirit politik dan etika.[2]   
Menurut Ali Rahnema dalam pengantar salah satu buku karya Syari’ati mengatakan bahwa, semasa sekolah Syari’ati adalah anak yang tidak mudah bersosialisasi dengan teman-teman seusianya. Dia cenderung lebih suka menyendiri, tidak punya kontak dengan dunia luar dan tidak mau tahu dengan dunia luar. Karena itu ia tidak tampak sperti bermasyarakat.[3] Begitupun pada masa belajarnya di sekolah dasar yang berapor merah.  Syariati kecil lebih dikenal sebagai “pemalas” dan “bodoh” karena sringnya terlambat, bolos, dan jarang mengerjakan PR. Namun dibalik buruknya ia disekolah, ali merupakan seorang anak memiliki minat baca yang tinggi, terutama membaca buku-buku ayahnya.
C.    Islam Dan Revolusi
Wacana revolusi dalam Islam lebih berkembang pada khazanah pemikiran Islam kontemporer yang nota bene sedikit banyak telah bersentuhan dengan ilmu-ilmu social barat modern. Dari banyak pemikir muslim kontemporer, Syari’ati adalah salah seorang pemikir Iran abad 20 yang begitu akrab dengan wacana revolusi dalam pemikiranya, maka pada bab ini penulis akan membahas hal tersebut secara spesifik kepada penelusuran tentang kaitan islam dan revolusi dalam perspektif Ali syari’ati.   
a.      Dasar-dasar  Revolusi
Dalam sebuah gerakan revolusi selain factor figur yang sangat memiliki peran besar, revolusi juga selalu memerlukan sebuah ideologi yang berfungsi sebagai dasar-dasar pergerakan, paradigm dan pembangun kesadaran bagi gerakan revolusi tersebut. Tidak ada sebuah gerakan revolusi tersebut tanpa mencapai tujuannya.
Hal yang sama menjadi perhatian Syari’ati dalammembangun sebuah gerakan revolusi. Syari’ati mlihat sebuah peranan yang sangat penting dari sebuah nilai-nilai dasar yang harus dibangun yang akan berfungsi sebagai ruh dari gerakan revolusi tesebut. Berikut inni akan pemakalah coba kaji prinsip-prinsip dasar apa saja yang dikembangkan oleh Syari’ati dalam rangka membangun ideologi dan paradigm revolusionernya. 
1.      Islam sebagai Ideologi
Sebagaimana telah disebutkan di awal, bahwa Islam yang dapat menjadi solusi dan membebaskan manusia adalah Islam sebagai ideologi. Islam sebagai ideologi adalah lawan model yang pertama yaitu Islam sebagai tradisi/ kebudayaan. Ideology secara harfiah  yang berasal dari kata idea yang berarti pemikiran, daya khayal, konsep/keyakinan,kemudian logos berarti logika atau ilmu. Dengan dmikian ideologi dapat diartikan sebagai sbagai ilmu tentang keyakinan dan gagasan.    
Bagi Syri’ati, revolusi adalah jawaban dan solusi bagi masyarakat muslim yang deawasa ini sedang mengalami masa keterpurukan dan kemunduran yang disebabkan oleh penindasan dari dari sebgala bentuk penjajahan. Menurut Ali Syari’ati saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda Negara dunia Ketiga, tak terkecuali Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya bentuk-bentuk korporasi multi nasional, rasisme, penindasan kelas, ketidak adilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westatoxication).[4]    
Untuk dapat keluar dari kondisi krisis menuju Negara yang merdeka dan berkeadlian social-ekonomi, bagi Syari’ati bukanlah melalui Liberalisme, kapitalisme, ataupun sosialisme, namun yang dapat mengeluarkan umat Islam dari kondisi ini hanyalah Islam. Baginya Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelmatkan negri muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan. [5] 
Syari’ati meyakini bahwa Islam sejatinya adalah agama yang membawa pesan dan ajaran penyelamat, pembebasan dan perubahan. Islam hadir sebagai jawaban dari segala bentuk kesatuan dan ketimpangan yang terjadi pada setiap manusia dan masyarakat. Demikian juga dengan turunya Islam ke muka bumi, Islam sebagai Ideologi yang diusung oleh Nabi SAW membawa orde social baru yang disandarkan pada prinsip keadalian dan persamaan dalam struktur social masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat arab yang sudah sekian lama merasa muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidak adilan, kesewenang-wenangan, dan rasisme. Masyarakat kala itu mulai menemukan. Islam sebagai ideologi mampu memberikan keyakinan baru yang berbasis kepad kemampuan bebas manusia untuk melepaskan diri dari jeratan system social dan politik tiranik.[6]  
Dalam pandangan Syari’ati, Islam sebagai Ideologi diartikan sebagai sesuatu keyakinan yang dipilih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat. Ideology dibutuhkan, menurut Syari’ati untuk mengarahkan sutau masyarakat atau bangsa dalammencaai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi untuk mengubah dan menolak status Quo secara fundamental.
Setelah mengkonstruksi gagsannya tentang ieologi, Syari’ati menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakan oleh masyarakat yang menpunyai ideologi kokoh. Dalam dalam kondisi keterpurukan konteks iran, Syari’ati berfitkir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komperhensif, sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, utuk tujuan mahluk scara keseluruhan.[7] Di sinilah letaknya bahwa Islam brfungsi sebagai ideologirevolusi.        
2.      Paradigma Kaum Tertindas (Mustadh’afin)
Istilah mustadh’afin adalah sebuah kondisi dimana sesorang ataupun kelompok berada dalamkondisi yang tidak semestiya, maka pada posisi tersebut sesungguhnya dia ada dalam posisi lemah atau dilemahkan, tertindas atau ditindas. Kondisi seperti ini bias terjadi dalam berbagai hal, seperti dalam hal spiritual, social, ekonomi, budaya, bahkan politik. Ketertindasan itu tidak pernah berdiri sendiri,kalau ada yang ditindas maka ada yang menindas, baik itu bersifat terbuka atau terselubung, baik itu disadari ataupun tidak disadari.
Jika kita lihat  konsep Syari’ati tentang hal ini (mustadh’afin) terlintas dalam benak akan kemiripan denagan konsep marxisme tentang perubahan social, dan kita memang sepakat bahwa secara tidak langsung Syari’ati adalah seorang Marxis yang anti Marxisme. Mengapa demikian, karna syari’ati terbukti menggunakan pisau analisis Marx yang digunakannya untuk menganalisis keadaan sosial bahkan untuk mengkrititisi marx itu sendiri. Yang berbda adalah Syari’ati melihat ketertindasan kaum mustadh’afin dalamkerangka yang sangat luas meliputi, spiritual, social, budaya, ekonomi, dan politik. Bahkan kalau analisis pertentangan kelas marx dikenal begitu materialis, maka analisis perjuangan kaum mustdh’afin Syari’ati dikenal sangat “spiritualis”. Hal ini salah satunya dapat kita lihat dari simbolisasi Syari’ati terhadap para nabi sebagai pemimpin kaum mustadh’afin.[8]
Menurut Syari’ati, salah satu misi utama dari ajaran islam adalah perjuangan membebaskan kaum  mustadh’afin dari tangan yang penindas. Syari’ati mengatakan bahwa Nabi SAW adalah sebagai pembebas manusia dan pemimpin kaum tertindas (mustadh’afin). Bahkan seluruh nabi dan Rasul, menurutSyari’ati, telah bangkit menentang kaum tirani dengan memihak kepada kaum mustadh’afin.  
Atas dasar itu, maka sebuah gerakan perubahan social atau revolusi adalah sebuah jawaban untukmenyelamtkn manusia dari ktertindasannya, dan sebuah revolusi akan terwujud apabila masyarakat yang telah mengalami penindasan tersebut sadat akan kondisinya. Kesadaran tersebut akan terbangun menurut Syari’ati adalah apabila paradigm perjuangan kaum tertindas (mustadh’afin) tertanam dalam setip mnusia yang tertindas atau ditindas. Maka bagi Syari’ati, sebuah rumusan paradigm perjuangan kaum tertindas yang berdasarkan jaran Islam menjadi prioritas untuk diwujudkan sebagai sebuah landasan perjuangan bagi setiap ummat Islam yang ingin bangkit dan merubah keadaan.  
b.      Langkah-langkah Menuju Revolusi
Setelah menggambarkan tentang beberapa hal yang menjadi prasyarat dasar untuk membangun  sebuah rencana gerakan revolusi, selanjutnya Syari’ati memaparkan tentang langkah-langkah strategis yang harus dibangun dan dipersiapkan sebagai langkah teknis merealisasikan nilai-nilai dasar revolusi di tengah-tengah masyarakat, yang pada saatnya nanti merekalah yang akan menggerakan revolusi tersebut.
1.      Membangun basis Massa sebagai Kekuatan Revolusi
Dalam sebuah gerakan revolusi banyak hal menjadi factor penting,penetu bahkan bersifat vital. Beberapa hal penting tersebut adalah tokoh revolusi, ideology, momentum revolusi, kekuatan massa dll. Banayak kalangan memandang bahwa factor penentu sebuah gerakan revolusi ada ditangan sebuah kelompok elit atau tokoh revolusi yang berpengaruh. Namun bagi Syari’ati hal tersebut bikanlah satu-satunya factor utama atau penentu, karena selain itu ada lagi hal yang tidak kalah penting dan utama, ialah kekuatan baisis massa yang menjadi factor mendasar sejarah dan perubahan ,asyarakat.
Bagi syari’ati baisis kekuatan utama sebuah gerakan revolusi ada ditangan kekuatan massa. Syari’ati mendefinisikan massa sbagai sebuah sosok manusia, yaitu manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai kaum intelektual, aristocrat, super, atau memiliki kelas sosiallainnya. Menurtnya, manusia sebagaimana yangdisebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah al-Nas (manusia) yang ditunjukan kepada seluruh manusia, ialah manusia yang bersifat sama dan tanpa klasifikasi tertentu.[9]
Dalam konteks revolusi Islam maka hal pertama dan utama yang harus terwujud adalah sebuah kekuatan massa yang memiliki kesadan ideologi islam sebagai nilai dasar geraknnya, dengan demikian yang harus dilakukan adalah melakukan upaya transformasi kesadaran ideologis terhadapmasyarakat shingga masyarakat mampu menyerap dan memahami Islam sebagai ideologi gerakan, yang dengan sendirinya masyarakat yang telah memilih kesadaran tersebut akan menjadi baisis gerakan revolusi.
Dari pemaparan diatas,sangat jelas bahwa massa menjadi salah satu komponenen penting bagi sebuah gerakan revolusi, karena massa dalam sebuah revolusi bukanlah berperan sebagi objek tetapi sebagi subjek pelaku perubahan. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa massa yang berperan sebagai objek adalah massa yang telah diradikalisasi, dalam artian massa idiologis adalah massa yang telah memilih denga sadar akan peranan dirinya masing-masing.     
2.      Para Kaum Intelektual Tercerahkan
Dalam sebuah proyeksi besar untuk melakukan sebuah gerakan perubahan revolusi, tidak cukup dengan hanya mlakukan propaganda yang bersifat wacana blaka. Gerakan perubahan yang dilakukan masyarkat akan terwujud apabila kesadaran untuk melakukan perubahan itu telah ditarnsfosmasikan secara sistematis sehingga meresap di masyarakat (massa). Pada posisi inilah harus ada sebuah eksponen yang berani mengambil peran sebgai aktor-aktor intelektual pnyebar “virus” kesadaran kepada masyarakat. [10]   
Dalam hal ini Syari’ati menjabarkan pemikirannya tentang harus adanya aktor-aktor  yang berperan sebagai ujung tombak revolusi, actor ini bertugas melakukan gerakan redikalisasi massa dengan kesadaran revolusioner. Syari’ati menyebutnaya denagan kaum intelektual yang tercerahkan.   Menurut Syari’ati, mereka para Kaum Intelektual Tercerahkan merupakan para eksponen nyata dari Islam yang rasional dan dinamis, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan sebuah pencerahan dan revolusi Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual muslim menghubungkan dirinya dengan masyarakat, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakan keadilan. 
Bagi Syari’ati, Kaum Intelektual Tercerahkan adalah inti dari pemikirannya tidak ada harapan untuk sebuah perubahan atau revolusi tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan social yang real, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah agen intelektual yang meradikalisasi massa yang sedang “tertidur lelap” menuju revolusi melawan penindas. Masayarakat dapat bergerak dan bangkit untuk melakukan revolusi dengan perubahan fundamental struktur social-politik adalah akibat dari peran besar Kaum Intelektual Tercerahkan.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Afif Amrullah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger