bnrt

Study Pendekatan Kemiskinan

Selasa, 05 Juni 2012


Kemiskinan merupakan permasalahan  kemanusiaan purba. Ia bersifat laten dan aktual sekaligus. Ia telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun. Kemisikinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Problema buta hurup, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan.
Berbagai upaya telah dilakukan, beragam kebijakan dan program telah disebar-terapkan, berjumlah dana telah dikeluarkan demi menanggulangi kemiskinan. Tak terhitung berapa kajian dan ulasan telah dilakukan di universitas, hotel berbintang, dan tempat lainnya. Pertanyaannya: mengapa kemisikinan masih menjadi bayangan buruk wajah kemanusiaan kita hingga saat ini?
Meskipun penanganan kemiskinan bukan usaha mudah, diskusi dan penggagasan aksi-tindak tidak boleh surut kebelakang. Untuk meretas jalan pensejahteraan, pemahaman mengenai konsep dan strategi penanggulangan kemisikinan masih harus terus dikembangkan. 

KEMISKINAN DAN KOMPLEKSITAS PERMASALAHANNYA

 Kajian teoritis tentang konsepsi kemiskinan tersebut dapat diteruskan secara mendalam dengan mengklasifikasikan definisi dan pengukuran kemiskinan dalam empat perspektif (Laderich, et. al ., 2003:247-262).
1.      pendekatan moneter ( the monetary approach ). Pendekatan ini yang paling jamak digunakan untuk mendefinisikan dan mengukur kemiskinan, yakni melihat kemiskinan sebagai kekurangan individu untuk mencapai tingkat konsumsi (pendapatan) secara minimum, yang biasanya diukur lewat garis kemiskinan. Melalui pendekatan ini, kesejahteraan diukur dari total konsumsi (kalori) yang dinikmati oleh individu, yakni diukur dari data pengeluaran atau pendapatan, sehingga individu yang memiliki pengeluaran atau pendapatan di bawah level minimum (garis kemiskinan) tergolong sebagai warga miskin. Pendekatan ini diterima secara populer, baik pada level domestik maupun internasional, salah satunya karena alasan mudah untuk diterapkan dan gampang dicarikan jalan keluarnya.

2.      pendekatan kemampuan ( the capability approach ). Pendekatan ini, yang salah satu pionernya adalah Amartya Sen, menganggap bahwa pembangunan seharusnya dilihat sebagai ekspansi dari kemampuan manusia ( human capabilities ), bukan sekadar memaksimalisasikan kegunaan ( utility ) atau proksi atas kegunaan itu, yakni pendapatan. Dengan demikian, pendekatan ini menolak konsep 'pendekatan moneter' dan lebih memfokuskan kepada indikator kebebasan ( freedom ) untuk menafkahi nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Dalam kerangka konseptual ini, kemiskinan didefinisikan sebagaipencabutan/kehilangan ( deprivation ) kemampuan atau kegagalan individu untuk mencapai kemampuan dasar/minimal, di mana kemampuan dasar ( basic capabilities ) tersebut tidak lain adalah kapabilitas untuk memaksimalisasikan fungsi-fungsi yang penting dari individu agar memperoleh level kecukupan hidup yang minimal ( minimally adequate levels ). Beberapa indikator yang digunakan dalam pendekatan ini adalah: harapan hidup, kesehatan, ketangguhan tubuh, perasaan (imajinasi), emosi, dan afiliasi (interaksi sosial, perlindungan dari diskriminasi).

3.      pendekatan pengucilan sosial ( social exclusion ). Pendekatan ini populer di negara-negara maju ( industrialized countries ) untuk mendeskripsikan terjadinya proses marjinalisasi dan pencabutan hak-hak dasar ekonomi. Meskipun kelihatannya hal ini muskil, tetapi dalam realitasnya masih sering terjadi di negara maju yang telah menyediakan kesejahteraan secara komprehensif. Secara lebih spesifik, komunitas Uni Eropa, misalnya, mendefinisikan pengucilan sosial ini sebagai 'proses di mana individu atau kelompok secara menyeluruh atau parsial dikucilkan dari keterlibatan penuh ( full partisipation ) dalam masyarakat di mana mereka hidup.' Di negara maju, definisi tersebut diterjemahkan secara aplikatif melalui variabel-variabel pengukuran semacam pengangguran, akses terhadap perumahan, pendapatan minimum dan kontak sosial, dan keterbatasan kewarganegaraan ( lack of citizenship ) atas hak-hak demokratis ( democratic rights ). Meskipun pendekatan ini populer di negara maju, tetapi sebagian negara berkembang juga sudah mengadopsinya, seperti India, Venezuela, Tanzania, Tunisia, Kamerun, dan Thailand.

4.      perspektif metode partisipatif ( participatory methods ). Selama ini, baik pendekatan moneter maupun kemampuan, melihat kemiskinan sebagai soal yang selalu didefinisikan dari pihak luar ( externally imposed ), tanpa pernah melihat kemiskinan dari perspektif kaum miskin sendiri ( views of poor people themselves ). Pendekatan ini, yang diinisiasi oleh Chambers, bertujuan untuk merombak dan mengubah praktik turun-temurun tersebut dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan untuk mendefinisikan kaum miskin dan besaran ( magnitude ) kemiskinan. Konsep penilaian kemiskinan partisipatif (PPA/ participatory poverty assessment ) ini diadopsi dari konsep ' participatory rural appraisal ' (PRA), yang didefinisikan sebagai metode memampukan masyarakat lokal untuk berbagi, merencanakan, dan bertindak. 3 Secara praktikal, pendekatan ini dibagi dalam tiga kategori, yakni:
a.       diasosiakan dengan penentuan diri ( self-determination ) dan pemberdayaan
b.      diasosiakan dengan peningkatan efisiensi program
c.       menekankan pada pembelajaran yang saling menguntungkan ( mutual learning ).

Tentu saja pendekatan yang terakhir ini lumayan rumit untuk diaplikasikan karena menyangkut aspek yang multiragam, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan lokalitas lingkungan politik. Tetapi, kecenderungannya model ini sekarang mulai intensif dikerjakan karena dipandang pendekatan-pendekatan terdahulu gagal untuk menuntaskan persoalan kemiskinan secara meyakinkan. Apabila perspektif definisi dan pengukuran kemiskinan di atas direlasikan dengan penanganan masalah kemiskinan di Indonesia, maka akan didapati sebuah deskripsi yang menarik. seperti sudah dimengerti oleh semua kalangan, persoalan kemiskinan ini telah ditangani oleh pemerintah sejak puluhan tahun lalu, khususnya semasa pemerintahan Orde Baru. Beragam kebijakan penanganan kemiskinan sudah diproduksi dengan tingkat intensitas dan besaran yang berbeda- beda. Hasilnya, di samping terdapat beberapa program penanganan kemiskinan yang cukup berhasil, juga terdapat banyak kebijakan kemiskinan yang gagal mencapai tujuannya. Dan apabila diurai secara seksama, terdapat fakta bahwa pemerintah telah mencoba menangani persoalan kemiskinan dari banyak spektrum, di mana hal ini bisa diidentifikasi dari beragam kebijakan yang diluncurkan. Kebijakan tersebut ada yang berbasis sektor (misalnya memisahkan sektor pertanian, industri, dan jasa), wilayah (desa dan kota, atau wilayah timur dan barat), dan alokasi sumberdaya (subsidi input, skema keuangan/permodalan, dan distribusi/pemasaran). Serangkaian kebijakan pengurangan angka kemiskinan tersebut, bila diurai secara detail bisa digolongkan dalam tiga skema kebijakan.
Pertama , kebijakan kemiskinan yang berbasis sektoral. Kebijakan ini fokus kepada sektor pertanian (dalam pengertian yang luas, termasuk perikanan, kehutanan, dan perkebunan) karena sektor ini dihuni oleh sebagian besar penduduk miskin di Indonesia. Kebijakan- kebijakan yang diproduksi untuk mengembangkan sektor ini antara lain: subsidi bibit, pupuk, kredit, dan lain-lain.
Kedua , kebijakan kemiskinan yang berbasis wilayah. Disadari atau tidak, nampak dengan sangat jelas bahwa perekonomian Indonesia terbagi secara geografis dalam dua kutub, yakni desa dengan kota dan bagian timur dengan bagian barat. Wilayah kota digambarkan sebagai lokomotif kegiatan ekonomi yang bertumpu kepada sektor industri dan jasa, tempat di mana sebagian besar penduduknya memperoleh pendapatan (kesejahteraan) di atas rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Sebaliknya, wilayah desa dideskripsikan sebagai pusat kegiatan ekonomi tradisional yang bertumpu pada sektor pertanian, sehingga sebagian besar penghuninya tergolong miskin. Hal yang sama terjadi antara wilayah barat dan timur Indonesia, di mana wilayah barat (khususnya Pulau Jawa) dianggap pusat kegiatan ekonomi, sedangkan wilayah timur adalah pusat keterpurukan/ketertinggalan ekonomi. Dengan peta tersebut tidak heran apabila sebagian kebijakan pengurangan kemiskinan di Indonesia dikonsentrasikan di wilayah desa (misalnya melalui kebijakan sektor pertanian dan IDT/Inpres Desa Tertinggal) dan wilayah bagian timur (misalnya lewat kebijakan percepatan pembangunan wilayah timur).
Ketiga , kebijakan kemiskinan berbasis alokasi sumberdaya. Persoalan kemiskinan bisa dilihat dari ketimpangan sumberdaya ekonomi (yang salah satunya adalah soal permodalan) dan sumberdaya manusia (keterbatasan pendidikan/ ketrampilan). Kebijakan peningkatan sumberdaya manusia dijalankan lewat paket pelatihan-pelatihan, misalnya dengan penciptaan Balai Latihan Kerja (BLK). Sementara itu, akibat ketiadaan aset ekonomi yang bernilai hukum (misalnya tanah yang bersertifikat) menjadikan sebagian besar masyarakat miskin tidak mampu mendapatkan akses modal terhadap lembaga keuangan, karena ketiadaan agunan.
Di luar itu, memang masih terdapat banyak kebijakan kemiskinan yang dikerjakan oleh pemerintah, namun dengan semangat untuk mengatasi kondisi darurat akibat situasi ekonomi yang tidak menentu, misalnya akibat krisis ekonomi atau kenaikan harga bahan bakar minyak. Kebijakan itu antara lain adalah KIP (Kampung Improvement Program), P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PDM- DKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM), BLT (Bantuan Langsung Tunai), Raskin (pemberian beras untuk rakyat miskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Community Development oleh perusahaan atau dikenal pula dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), P4K (Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), dan JPS (Jaring Pengaman Sosial).
Dari seluruh rangkaian kebijakan penanggulangan kemiskinan di atas, lepas dari beberapa keberhasilan yang dicapai (misalnya program IDT dan kredit usaha kecil yang dilakukan oleh BRI) 5 , masih terdapat banyak kelemahan dari program-program kemiskinan tersebut. Jika dipetakan, kelemahan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      kebijakan kemiskinan dilaksanakan secara seragam (general) tanpa mengaitkan dengan konteks sosial, ekonomi, dan budaya di setiap wilayah (komunitas). Akibatnya, kebijakan sering tidak relevan disatu tempat (komunitas), walaupun di tempat (komunitas) lain program itu berhasil.
2.      definisi dan pengukuran kemiskinan lebih banyak dipasok dari pihak luar ( externally imposed ) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis (moneter). Implikasinya, konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dan mereduksi hakikat dari kemiskinan itu sendiri.
3.      penanganan program kemiskinan mengalami birokratisasi yang terlampau dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau panjang. Program kredit atau subsidi kerap mengalami hal ini, di mana peluncurannya sering telat dari jadwal yang ditentukan akibat prosedur birokrasi yang rumit.
4.      kebijakan kemiskinan sering diboncengi dengan motif politik yang amat kental, sehingga tidak memiliki makna bagi penguatan sosial ekonomi kelompok miskin. Pada masa Orde Baru, sebagian program kemiskinan tersebut kerap diluncurkan menjelang masa Pemilu dengan harapan (pemerintah yang berkuasa) dapat mendulang suara dari rakyat (kecil).
5.      last but not least , kebijakan kemiskinan kurang mempertimbangkan aspek kelembagaan sebagai prinsip yang harus dikedepankan, sehingga sebagian kebijakan itu tidak berhasil karena aturan main yang didesain tidak sesuai dengan kebutuhan. Implikasinya, keberlanjutan dan kemanfaatan program kemiskinan tidak dapat dirasakan langsung oleh kaum miskin.
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Afif Amrullah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger