Akal dan Konsep Ketuhanan
Oleh Sayid Husein al Kaff
Meskipun meyakini adanya Tuhan
adalah masalah fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena
kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan
dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri
mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya fitrah mereka redup atau bahkan
padam.
Walaupun demikian, jalan menuju
Allah itu banyak. Para ahli ma’rifat berkata, ”Jalan-jalan menuju ma’rifatullah
sebanyak nafas makhluk.” Salah satu jalan ma’rifatullah adalah akal. Terdapat
sekelompok kaum muslim, golongan ahli Hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak
peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa
satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al Quran dan Hadis).
Mereka beralasan dengan adanya sejumlah ayat dan riwayat yang secara lahiriah
melarang menggunakan akal (ra’yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al
Quran dan Hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan
menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi
(burhan) aqli. Pada tulisan berikutnya, insya Allah akan kita bicarakan tentang
Al-Qur’an, Hadis dan konsep ketuhanan.
Bisakah Tuhan dibuktikan
dengan akal ?
Sebenarnya pertanyaan ini
tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan,
pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal dan
tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.
Anggapan yang mengatakan, bahwa
pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan sangat naif.
Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur’an, sementara dia
belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al Quran itu sendiri Al-Qur’an,
yaitu Allah Ta’ala.
Lebih naif lagi, mereka menerima
keterangan Al Quran lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari
Allah. Hal ini berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima
keterangan Al-Qur’an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah ?
Mereka menjawab, “Karena Al Quran
mengatakan demikian.” Maka terjadilah daur (Lingkaran setan ?, lihat istilah
daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al Quran dijadikan sebagai
pendukung dan penguat dalil aqli.
Para ulama, ketika membuktikan
wujud Allah dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami
(teologis) atau pendekatan filosofi.
Pada kesempatan ini, insya Allah
kami mencoba menjelaskan keduanya secara sederhana dan ringkas.
Burhan-burhan Aqli-kalami
tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala
1.Burhan Nidham (keteraturan)
Burhan ini dibangun atas beberapa
muqadimah (premis). Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis
benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi
(tabiat) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam
ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai alam
ini adalah hukum kausalitas (illiyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di
alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab (illat) dan tidak mungkin satu fenomena
terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada
di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab akibat, adalah fenomena dari sebuah
puncak sebab (prima kausa atau illatul ilal).
Keempat, “sebab” atau illat yang
mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu
“sebab” yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup.
Kemungkinan pertama tidak
mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar,
indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa “sebab” yang mengadakannya
adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan
kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak
mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.
Kedua, benda-benda yang ada di
alam ini beragam dan bermacam-macam, diantaranya adalah manusia. Manusia
merupakan salah satu bagian dari alam yang paling menonjol. Dia pandai, mampu
dan hidup. Mungkinkah menusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari
sesuatu yang mati ?.
Kesimpulannya, bahwa alam raya
ini mempunyai ‘’sebab’’ atau ‘illat, dan ‘’sebab’’ tersebut adalah sesuatu yang
hidup. Kaum muslimin menamai ‘’sebab’’ segala sesuatu itu dengan sebutan Allah
Ta’ala.
2. Burhan al-Huduts (kebaruan)
Al-Huduts atau al-Hadits berarti
baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada kemudian ada. Burhan ini terdiri atas
beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini
hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya
tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang
asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia
menjadi ada karena ‘’sebab’’ sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam raya
ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami
ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan
alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya,
demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini
mustahil. Dengan demikian, pasti ada ‘sesuatu’ yang keberadaannya tidak pernah
mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan ‘sesuatu’ itu dengan sebutan Allah
Ta’ala.
Burhan-burhan Aqli-filosofi
tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala.
A. Burhan Imkan
1. Sebelum menguraikan burhan
ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu Wajib, yaitu
sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada
yang lain.
2. Imkan atau mumkin, sesuatu
yang wujud (ada) dan ‘adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila
al-wujud wa al-‘adam). Artinya, sesuatu yang ketika ‘ada’ disebabkan faktor
eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika
‘tidak ada’ disebabkan oleh faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak
dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut
para filosof, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).
3. Mumtani atau mustahil, yaitu
sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu
ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima’un-naqidhain).
4. Daur (siklus atau lingkaran
setan) Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B
keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa
keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ada tanpa
keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan ada tanpa B dan
pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini berarti ijtima’un
naqidhain (lihat Mumtani’). Contoh lainnya, A keberadaannya tergantung/membutuhkan
B, dan B keberadaannya tergantung/membutuhkan C, sedangkan C keberadaannya
tergantung/ membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B
terlebih dahulu, demikian juga B tidak mungkin ada tanpa keberadaan C terlebih
dahulu, demikian juga C tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu.
Daur adalah suatu yang mustahil adanya.
5. Tasalsul, yaitu susunan
sejumlah ‘illat dan ma’lul, dengan pengertian bahwa yang terdahulu menjadi
‘illat bagi yang kemudian, dan seterusnya tanpa berujung. Tasalsul sama dengan
daur, mustahil adanya.
Burhan Imkan dapat dijelaskan
dengan beberapa poin sebagai berikut ini:
Pertama, bahwa seluruh yang ada
tidak lepas dari dua posisi wujud, yaitu wajib atau mumkin.
Kedua, wujud yang wajib ada
dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada
wujud yang wajib, secara langsung atau lewat perantara. Kalau tidak membutuhkan
kepada yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata
rantai yang tidak berujung) dan keduanya mustahil.
Ketiga, bahwa yang mumkin
berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah ‘sebab’ dari
segala wujud yang mumkin (prima kausa atau ‘illatul ‘ilal). Kaum muslimin
menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta’ala.
B. Burhan Ash-Shiddiqin
Burhan ini menurut para filosuf
muslim, merupakan terjemahan dari ungkapan Ahlul Bayt as. yang berbunyi, “Wahai
Dzat yang menunjukkan diri-Nya dengan diri-Nya.” (Doa Shahabah Amir al-Mukminin
Ali bin Abi Thalib as.) Artinya, Burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud
Allah melalui wujud diri-Nya sendiri. Para ahlui mantiq (logika) menyebutnya
dengan burhan Limmi. Penjelasan burhan ini, hampir sama dengan penjelasan
burhan Imkan.
Ada beberapa penafsiran tentang
burhan shiddiqin ini. Diantaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan,
“Dengan demikian, yang wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain
(mustaghni) dan terkadang pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang
lain (muftaqir). Yang pertama, adalah wujud yang wajib, yaitu wujud murni.
Tiada yang lebih sempurna dari-Nya dan dia tidak diliputi ketiadaan dan
kekurangan. Sedangkan yang kedua, adalah selain wujud yang wajib, yaitu
perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan-Nya (Nihayah al-Hikmah,
hal. 269).
Allamah al-Hilli, dalam
komentarnya terhadap kitab Tajrid al-‘Itiqad karya Syekh Thusi, menjelaskan,
“Di luar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang wujud itu wajib, maka
itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala), dan jika yang wujud itu mumkin, maka dia
pasti membutuhkan faktor yang wujud (untuk keberadaannya). Jika faktor itu
wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala). Tetapi jika faktor itu mumkin
juga, maka dia membutuhkan faktor lain dan seterusnya (tasalsul) atau daur. Dan
keduanya mustahil adanya
0 komentar:
Posting Komentar