bnrt

Lebih Mudah Mengenal Tuhan

Selasa, 05 Juni 2012


Mukaddimah

Berbagai argumentasi telah ditulis, dihimpun dan disampaikan oleh para filosof Ilahi dan para ulama Kalam untuk membuktikan wujud Tuhan Pencipta. Pembahasan ini dibahas dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam secara jeluk. Pada pembahasan berikut ini, kami akan memilih sebuah argumen saja dari sekian banyak argumen tersebut. Argumen ini berlandaskan pada premis-premis yang lebih minim, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Namun demikian, argumen ini nampak lebih kuat.

Perlu diketahui bahwa argumen filosofis ini hanya dapat membuktikan wujud Tuhan Pencipta sebagai Wâjib al-Wujud (wujud yang pasti). Artinya bahwa Tuhan Pencipta itu maujud, dan wujud-Nya merupakan hal yang dharuri (niscaya) tanpa memerlukan apa dan siapapun -selain-Nya- yang mewujudkan-Nya.

Adapun untuk menetapkan sifat-sifat-Nya, baik yang positif (tsubutiyah=menetapkan sifat-sifat kesempurnaan) seperti; sifat ilmu, kuasa maupun yang negatif (salbiyah=menafikan sifat-sifat kekurangan) seperti; tidak beraga, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Hal ini tidak dapat dibuktikan dengan argumen filosofis ini, melainkan harus dibuktikan dengan argumen lain. 


Bentuk Argumentasi

Berdasarkan asumsi rasional, realitas terbagi menjadi dua; Wâjib al-wujud (wujud yang bersifat pasti) dan mumkin al-wujud (wujud yang bersifat mungkin). Setiap fenomena dan realitas, baik yang dapat diindera, dipersepsi maupun tidak -secara rasional- tidak keluar dari asumsi tersebut. Yaitu terkadang bersifat wâjib al-wujud dan terkadang bersifat mumkin al-wujud. Dengan demikian, kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh realitas itu bersifat Wâjib al-wujud ataupun mumkin al-wujud. Karena segala yang bersifat mumkin al-wujud itu membutuhkan kepada sebab dan pencipta yang mandiri atau Wâjib al-wujud. Sementara jika dikatakan bahwa segala yang ada itu bersifat Wâjib al-wujud, maka hal ini memestikan kemandirian semua itu, dan hal ini merupakan hal yang badhihi (gamblang) kebatilannya, sehingga tidak memerlukan argumen.

Apabila setiap sebab itu masih berupa mumkin al-wujud, maka ia merupakan akibat yang tentunya membutuhkan kepada sebab yang lain yang mewujudkannya. Dan pada akhirnya, jika setiap sebab itu bersifat mumkin al-wujud, maka tidak akan ada realitas apa pun sama sekali. Artinya, bahwa rangkaian sebab-sebab itu sebenarnya adalah merupakan rangkaian akibat "yang mungkin" dan keberadaannya tidak bersifat pasti.

Oleh karena itu, rangkaian mumkin al-wujud menjadi ada manakala ia berakhir kepada suatu realitas yang bukan lagi akibat dari realitas apapun. Artinya, bahwa rangkaian wujud itu akan berakhir pada Wâjibul wujud.

Argumen di atas ini adalah argumen filsafat yang paling sederhana untuk menetapkan (itsbât, to proof) wujud Tuhan Sang Pencipta. Argumen di atas terdiri dari beberapa premis rasional, tanpa melibatkan premis empirik di dalamnya. Tetapi, karena argumen semacam ini biasanya menggunakan sejumlah konsep dan istilah filosofis, terlebih dahulu kita harus menjelaskan beberapa istilah dan premis yang menyusun argumen ini. 


Wujub, Imkan dan Mumtani’


Setiap proposisi, yang paling sederhana sekalipun, sekurang-kurangnya mesti tersusun dari dua konsep; subjek (maudhu’) dan predikat (mahmul). Misalnya proposisi yang berbunyi: "Matahari itu bersinar". Proposisi ini terdiri dari matahari sebagai subjek dan bersinar sebagai predikat. Dan setiap predikat suatu subjek itu tidak akan keluar dari salah satu tiga kondisi; ada yang bersifat dharuri (niscaya dan tidak terpisahkan), ada yang bersifat imkan (mungkin) dan ketiga ada yang bersifat mumtani’ (tercegah atau mustahil). Predikat yang bersifat dharuri dan pasti seperti proposisi yang berbunyi: Angka 2 adalah setengah dari angka 4, dan gula itu manis. Predikat yang bersifat imkan seperti pada proposisi: Bunga itu merah, dan matahari di atas kepala kita. Dan predikat yang bersifat mumtani’ (mustahil) seperti pada proposisi: Angka 5 itu lebih besar dari angka 7, dan madu itu pahit. Mengingat bahwa filsafat hanya membahas sesuatu yang ada, dan tidak membahas sesuatu yang tidak ada, maka para filosof membagi realitas hanya kepada dua bagian, yaitu Wâjib al wujud dan mumkin al-wujud.

Wâjib al-wujud adalah realitas yang ada dengan sendirinya, artinya wujudnya bersifat mandiri dan tidak bergantung kepada realitas yang lain. Dan realitas yang wujudnya dharuri ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir) walau sekejap pun. Dia senantiasa ada dan tidak pernah mengalami ketiadaan. Karena, apabila sesuatu itu ma'dum (tiada) pada masa tertentu -walaupun hanya sekejap saja- maka hal ini menunjukkan bahwa wujudnya itu bukan berdasarkan pada dirinya sendiri, tetapi membutuhkan kepada realitas selainnya yang merupakan sebab yang mewujudkannya atau sebagai syarat keberadaannya. Dengan demikian, jika sebab atau syarat itu tidak ada, maka sesuatu tersebut tidak akan ada. Sedangkan mumkin al-wujud adalah realitas yang wujud dan keberadaannya tidak dengan sendirinya, melainkan wujudnya itu diadakan dan bergantung kepada realitas selainnya. Dengan kata lain, mumkin al-wujud tidak mungkin terwujud kecuali dengan perantara selainnya.

Penjelasan rasional ini menafikan secara pasti adanya mumtani' al-wujud (sesuatu yang wujudnya bersifat mustahil). Pada saat yang sama, penjelasan ini tidak mengidentifikasi; apakah realitas di luar itu Wâjib al-wujud ataukah mumkin al-wujud. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan kebenaran sebuah proposisi tersebut dengan tiga asumsi:

Pertama, setiap realitas itu Wâjib al-wujud.

Kedua, setiap realitas itu mumkin al-wujud.

Ketiga, sebagian realitas itu Wâjib al-wujud, dan sebagian lainnya adalah mumkin al-wujud.

Berdasarkan asumsi pertama dan ketiga, keberadaan Wâjib al-wujud telah dapat ditetapkan. Namun yang perlu kita bahas lebih lanjut adalah asumsi kedua, yaitu apakah mungkin setiap realitas itu bersifat mumkin al-wujud? Apabila kita dapat menggugurkan asumsi ini, maka keberadaan Wâjib al-wujud dapat ditegaskan secara pasti, walaupun untuk menetapkan keesaan dan seluruh sifat-sifat-Nya diperlukan argumentasi tersendiri.

Untuk menggugurkan asumsi kedua, kita perlu menambahkan premis lain ke dalam argumen terdahulu itu, yaitu bahwa seluruh realitas tidak mungkin bersifat mumkin al-wujud. Premis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

o Bahwa mumkin a- wujud itu butuh kepada sebab yang mewujudkannya.

o Bahwa rangkaian sebab-sebab yang tak berujung adalah mustahil. Oleh karena itu, rangkaian sebab-sebab itu harus berakhir kepada realitas yang bukan berupa mumkin al-wujud yang tidak butuh lagi kepada sebab. Artinya, ia adalah Wâjib al-wujud. Dengan dua premis tersebut, maka dapat ditetapkan bahwa tidak setiap realitas itu bersifat mumkin al-wujud. Artinya ada ralitas yang bersifat Wâjib al-wujud dan selainnya adalah mumkin al-wujud. 


Illah dan Ma’lul


Apabila wujud suatu realitas itu bergantung kepada realitas yang lain, maka -di dalam Filsafat- realitas yang bergantung itu disebut sebagai akibat (ma'lul), dan realitas yang disandarinya atau digantunginya itu disebut sebagai sebab (‘illah). Dan hal ini tidak menafikan bahwa sebab ini sendiri masih bergantung kepada sebab yang lainnya. Artinya, bahwa pada gilirannya sebab itu sendiri masih membutuhkan dan bergantung kepada sebab yang lainnya, dimana ia juga merupakan akibat dari realitas ketiga ini. Namun, jika sebab itu bukan akibat dan tidak bergantung kepada yang lain, maka ia adalah sebab mutlak yang tidak butuh kepada selainnya sama sekali. Dengan penjelasan ini kita telah mengenal dua istilah filsafat; Illah dan Ma’lul, serta definisi keduanya.

Selanjutnya, kami akan menjelaskan premis bahwa setiap mumkin al-wujud itu membutuhkan kepada sebab. Mengingat bahwa keberadaan mumkin al-wujud itu tidak dengan sendirinya, maka wujud mumkin al-wujud tersebut bergantung kepada realitas yang lain. Kemudian perlu juga diketahui bahwa suatu predikat jika dinisbatkan kepada suatu subjek, adakalanya predikat itu bisa ditetapkan pada subjeknya itu secara dzati (esensial), dan adakalanya ditetapkan secara aradhi (aksidental). Misalnya, adakalanya sesuatu itu terang secara esensial, yakni terang dengan sendirinya seperti matahari, adakalanya ia terang karena sesuatu yang lain, misalnya rembulan. Atau, setiap benda (jism) adakalanya berminyak dengan sendirinya seperti minyak, atau berminyak dengan perantara yang lainnya seperti rambut yang diminyaki. Adapun jika didapati asumsi bahwa sesuatu itu terang atau berminyak tidak dengan sendirinya, tidak pula melalui perantara yang lain, maka hal itu merupakan asumsi yang absurd (muhâl).

Dengan demikian, adakalanya ketetapan wujud (sebagai predikat) pada suatu subjek itu secara esensial, yaitu dengan sendirinya dan tanpa perantara yang lain, atau dengan perantara yang lain. Apabila ketetapan wujud pada suatu subjek tidak dengan sendirinya, maka pasti wujudnya itu ditetapkan dengan perantara yang lain. Atas dasar ini, setiap mumkin al-wujud (yang mungkin wujudnya) itu ada dengan perantara yang lain dan ia adalah akibat baginya.

Adalah kaidah Logika yang diterima oleh semua orang yang berakal, bahwa setiap mumkin al-wujud membutuhkan sebab. Namun, berangkat dari pengertian Hukum Kausalitas; bahwa setiap realitas membutuhkan kepada sebab, sebagian orang menganggap bahwa seharusnya wujud Tuhan Pencipta itu pun mempunyai sebab. Mereka lalai bahwa subjek pada Hukum Kausalitas itu bukanlah realitas secara mutlak, tetapi realitas yang bersifat mumkin atau ma'lul (akibat). Dengan kata lain, setiap realitas "yang tidak berdiri sendiri" membutuhkan sebab, bukan setiap realitas tanpa ajektif itu.


Kemustahilan Tasalsul


Premis terakhir yang digunakan dalam argumentasi ini ialah bahwa mata rantai sebab-sebab itu harus berakhir pada realitas yang dirinya bukan lagi akibat, melainkan sebab yang mandiri. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para teolog, bahwa tasalsul (mata rantai sebab-akibat yang tak berujung) itu mustahil. Atas dasar ini, dapat dibuktikan wujud Tuhan sebagai Wâjib al-wujud. Bahwa Wajib al-wujud merupakan sebab pertama yang ada dengan sendirinya dan tidak perlu kepada wujud yang lain.

Para filosof telah mengajukan berbagai argumen untuk menunjukkan kemustahilan tasalsul ini, meski pada dasarnya hal itu adalah masalah yang nyaris badihi dan tidak perlu kepada pembuktian. Dan setiap orang yang mau merenung, walau sejenak, pasti akan dapat memastikan kemustahilan tasalsul tersebut. Artinya, setiap wujud akibat itu membutuhkan kepada sebab dan keberadaannya disyarati oleh keberadaan sebab tersebut.

Apabila diasumsikan bahwa segala sesuatu itu adalah akibat dan semuanya itu membutuhkan kepada sebab, maka tidak akan terealisasi realitas apa pun. Karena tidaklah logis meng-asumsikan adanya mata-rantai yang saling bergantungan tanpa suatu wujud yang merupakan puncak kebergantungan mata rantai tersebut. Sebagai contoh, lomba lari maraton. Apabila seluruh peserta lomba berdiri di garis start, berarti mereka siap untuk berlomba. Tetapi, jika setiap anggota tidak mau memulai untuk berlari kecuali apabila yang lainnya memulai lari terlebih dahulu, apabila keputusan semacam ini diambil oleh seluruh peserta, maka tidak akan terjadi yang namanya perlombaan tersebut. Begitu pula, apabila wujud segala sesuatu itu disyarati dengan wujud yang lain, tidak akan terwujud sesuatu apa pun, sama sekali. Dengan demikian, adanya hal-hal objektif di luar ini merupakan bukti atas keberadaan realitas yang tidak membutuhkan; yang wujudnya itu tidak disyarati oleh wujud selainnya. Dialah Tuhan Pencipta yang wujud-Nya bersifat mandiri dan tidak butuh dan berhajat kepada selain-Nya.



Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Afif Amrullah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger