bnrt

Jurgen Habermas

Jumat, 20 April 2012

Jurgen Habermas,
Teori Kritis-Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik

A.                Pendahuluan

Jurgen Habermas adalah filsuf kontemporer yang paling terkenal di Jerman dan juga menghiasi panggung filsafat internasional. Ia dilahirkan pada 18 Juni 1929 di daerah Dusseldorf Jerman. Habermas merupakan anak Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland – Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika lingkungan Borjuis-Protestan.
Pada tahun 1953, ketika Habermas sedang sibuk menulis disertasi doktor, ia menerbitkan artikel yang berjudul “Berpikir Bersama Heidegger Melawan Heidegger”. Di lingkungan filsafat akademik Jerman pasca kehancuran akibat Perang Dunia II, Heidegger bagaikan tiang penunjang yang diandalkan, jembatan antara dunia yang berantakan sehabis Hitler dan tradisi luhur filsafat Jerman. Dengan sangat kritis, Habermas berujar “Ingatlah, bagaimana dulu Heidegger menuji Nazi” Bahkan filsafat Heideggerpun dicela Habermas, “bisa dipakai untuk apa-apa saja”.
Hebermas pun mengkritik pemikir post-modernisme. Kritikan awal di kemukakan dalam esai “modernity versus postmodernity” (1981) yang terkenal secara luas, dalam esai itu ia mengemukakan pertanyaan, mengingat kegagalan abad 20, apakah kita “harus mencoba berperang pada tujuan pencerahan, meski tampak suram sekalipun, ataukah kita harus menyatakan seluruh proyek modernitas telah kehilangan tujuan?” (1981:9)[1]. Ia jelas tidak setuju mengorbankan pencerahan modernitas. Ia lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada “kesalahan” pemikiran orang yang menolak modernitas. Salah satu kesalahan terpentingnya adalah keinginan mereka untuk mengorbankan ilmu, terutama ilmu tentang kehidupan-dunia.
Jurgen Habermas merupakan tokoh terakhir mazhab Frankfurt. Ketika mazhab Frankfurt secara resmi sudah tidak ada lagi dan teori yang di tawarkan kepada masyarakat berakhir dengan sikap yang pesimis. Namun, Habermas telah menghidupkannya kembali mazhab frankfurt dan melanjutkan kembali teori kritis yang menjadi proyek dari para pendahulunya (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Harbert Marcuse). Bukan hanya teori kritis yang di berikan oleh Habermas, ada banyak hal yang di berikan oleh Jurgen Habermas dalam dunia filsafat.


B.     Teori Kritis
Menurut Habermas teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa dikenal kalangan publik akdemis dalam masyarakat kita. Jurgen Habermas menggambarkan teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Teori kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang umumnya, yang umumnya dianut oleh aliran positivistik. Teori kritis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat trasendental yang melampaui data empiris. Dapat dikatakan, tori idiologis meupakan kritik idiologi. Teori kritis ini dilahirkan oleh mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh selubung idiologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern. Akan tetapi, semua itu konsep teori kritis yang ditawarkan oleh para pendahulu habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Harbert Marcuse) mengalami sebuah kemacetan atau berakhir dengan kepesimisan. Akan tetapi teori ini tidak berakhir begitu saja, Habermas sebagai penerus mazhab Frankfurt akan membangkitkan kembali teori tersebut dengan sebuah paradigma baru.
Jurgem Habermas menambahkan konsep komunikasi didalam teori kritis tersebut, menurut Habermas, komunikasi dapat menyelesaikan kemacetan teori kritis yang ditawarkan para pendahulunya. Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi (interaksi). Pekerjaan merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan untuk mencapai sesuatu. Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling pengertian. Habernas berpendirian bahwa kriatik hanya bisa maju dengan rasio komunikatif yang di mengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekerasan tetapi melalui argumentasi. Kemudian Habernas membedakan dua macam argumentasi, yaitu; perbincangan atau diskursus dan kritik.

C.    Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik
Salah satu masalah yang di bahas habernas adalah makin bertambahnya masalah yang dihadapi oleh negara kesejahteraan sosial yang birokratis dan modern[2], dalam rangka mengatasi kompleksitas pada masyarakat modern yang memiliki kemajemukan gaya hidup dan orientasi nilai, Habermas mempunyai keyakinan bahwa melalui tindakan komunikatif masyarakat modern dengan segala kompleksitasnya dapat diintegrasikan. Tindakan komunikatif adalah tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus. Artinya, setiap tindakan menjadi tindakan rasional yang berorientasi kepada kesepahaman, persetujuan dan rasa saling mengerti. Konsensus semacam itu, bagi Habermas, hanya dapat dicapai melalui diskursus praktis yang tidak lain adalah prosedur komunikasi. Diskursus praktis adalah suatu prosedur (cara) masyarakat untuk saling berkomunikasi secara rasional dengan pemahaman intersubjektif. Dalam tipe diskursus ini anggota masyarakat mempersoalkan klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka.
Untuk mencapai konsensus rasional yang diterima umum, Habermas mengajukan tiga prasyarat komunikasi sebagai berikut: Pertama keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud, jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab sejajar dan tidak menganggap mereka ini hanya sebagai sarana belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan tidak memaksa dari argumen yang lebih baik”. Melalui diskursus praktis dengan prosedur komunikasi yang rasional, Habermas yakin bahwa risiko ketidaksepakatan yang menggiring masyarakat pada disintegrasi dapat dibendung.
Bagi Habermas, pluralitas yang banyak dipahami masyarakat sebagai sumber perpecahan justru berfungsi sebagai kontribusi dalam proses pembentukan opini dan aspirasi publik. Komunikasi politis pada diskursus praktis dengan argumen rasional dapat menghasilkan hukum yang legitim. Masyarakat yang membudayakan proses legislasi hukum secara demokratis akan dirangsang untuk memobilisasi solidaritas sosial yang makin meninggalkan perspektif etnosentris para anggotanya, karena dalam setiap komunikasi autentik para partisipan dapat mencapai saling pemahaman dengan cara mengambil alih perspektif partner komunikasinya. Teori tentang demokrasi deliberatif adalah suatu upaya untuk merekonstruksi proses komunikasi dalam konteks negara hukum demokratis.

a.    Demokrasi Deliberatif
Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio atau deliberasi (Indonesia) yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi, Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah). Demokrasi deliberatif memiliki makna tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.
Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif.” Dengan demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas. Agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan diskursif. Habermas menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara yang fair agar dapat mencapai legitimitas.
Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.

b.   Ruang Publik
Habermas menegaskan bahwa ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik. Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi antar warga itu sendiri.
Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst.), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar). Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak terdapat ditengah-tengah masyarakat warga. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Dimana ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik berifat bebas dan tidak terbatas. Ia tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar ataupun kepentingan-kepentingan politik. (APip)


[1] Teori sosiologi modern, George ritzer-duglas J. Goodman, edisi ke 6, jakarta: kencana, 2007 hal.581
[2] Teori sosiologi modern, George ritzer-duglas J. Goodman, edisi ke 6, jakarta: kencana, 2007 hal.580
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Afif Amrullah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger