Kemiskinan merupakan permasalahan kemanusiaan purba. Ia
bersifat laten dan aktual sekaligus. Ia telah ada sejak peradaban manusia ada
dan hingga kini masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun. Kemisikinan
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan lainnya,
seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Problema buta
hurup, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human
trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan.
Berbagai upaya telah dilakukan, beragam kebijakan dan program
telah disebar-terapkan, berjumlah dana telah dikeluarkan demi menanggulangi
kemiskinan. Tak terhitung berapa kajian dan ulasan telah dilakukan di
universitas, hotel berbintang, dan tempat lainnya. Pertanyaannya: mengapa
kemisikinan masih menjadi bayangan buruk wajah kemanusiaan kita hingga saat
ini?
Meskipun penanganan kemiskinan bukan usaha mudah, diskusi dan
penggagasan aksi-tindak tidak boleh surut kebelakang. Untuk meretas jalan
pensejahteraan, pemahaman mengenai konsep dan strategi penanggulangan
kemisikinan masih harus terus dikembangkan.
KEMISKINAN DAN KOMPLEKSITAS
PERMASALAHANNYA
Kajian teoritis tentang konsepsi kemiskinan
tersebut dapat diteruskan secara mendalam dengan mengklasifikasikan definisi
dan pengukuran kemiskinan dalam empat perspektif (Laderich, et. al ., 2003:247-262).
1.
pendekatan
moneter ( the monetary approach ). Pendekatan ini yang paling jamak digunakan
untuk mendefinisikan dan mengukur kemiskinan, yakni melihat kemiskinan sebagai
kekurangan individu untuk mencapai tingkat konsumsi (pendapatan) secara
minimum, yang biasanya diukur lewat garis kemiskinan. Melalui pendekatan ini,
kesejahteraan diukur dari total konsumsi (kalori) yang dinikmati oleh individu,
yakni diukur dari data pengeluaran atau pendapatan, sehingga individu yang
memiliki pengeluaran atau pendapatan di bawah level minimum (garis kemiskinan)
tergolong sebagai warga miskin. Pendekatan ini diterima secara populer, baik
pada level domestik maupun internasional, salah satunya karena alasan mudah
untuk diterapkan dan gampang dicarikan jalan keluarnya.
2.
pendekatan
kemampuan ( the capability approach ). Pendekatan ini, yang salah satu
pionernya adalah Amartya Sen, menganggap bahwa pembangunan seharusnya dilihat
sebagai ekspansi dari kemampuan manusia ( human capabilities ), bukan sekadar
memaksimalisasikan kegunaan ( utility ) atau proksi atas kegunaan itu, yakni
pendapatan. Dengan demikian, pendekatan ini menolak konsep 'pendekatan moneter'
dan lebih memfokuskan kepada indikator kebebasan ( freedom ) untuk menafkahi
nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Dalam kerangka konseptual ini, kemiskinan
didefinisikan sebagaipencabutan/kehilangan ( deprivation ) kemampuan atau
kegagalan individu untuk mencapai kemampuan dasar/minimal, di mana kemampuan
dasar ( basic capabilities ) tersebut tidak lain adalah kapabilitas untuk
memaksimalisasikan fungsi-fungsi yang penting dari individu agar memperoleh
level kecukupan hidup yang minimal ( minimally adequate levels ). Beberapa
indikator yang digunakan dalam pendekatan ini adalah: harapan hidup, kesehatan,
ketangguhan tubuh, perasaan (imajinasi), emosi, dan afiliasi (interaksi sosial,
perlindungan dari diskriminasi).
3.
pendekatan
pengucilan sosial ( social exclusion ). Pendekatan ini populer di negara-negara
maju ( industrialized countries ) untuk mendeskripsikan terjadinya proses
marjinalisasi dan pencabutan hak-hak dasar ekonomi. Meskipun kelihatannya hal
ini muskil, tetapi dalam realitasnya masih sering terjadi di negara maju yang
telah menyediakan kesejahteraan secara komprehensif. Secara lebih spesifik,
komunitas Uni Eropa, misalnya, mendefinisikan pengucilan sosial ini sebagai
'proses di mana individu atau kelompok secara menyeluruh atau parsial
dikucilkan dari keterlibatan penuh ( full partisipation ) dalam masyarakat di
mana mereka hidup.' Di negara maju, definisi tersebut diterjemahkan secara
aplikatif melalui variabel-variabel pengukuran semacam pengangguran, akses
terhadap perumahan, pendapatan minimum dan kontak sosial, dan keterbatasan
kewarganegaraan ( lack of citizenship ) atas hak-hak demokratis ( democratic rights
). Meskipun pendekatan ini populer di negara maju, tetapi sebagian negara
berkembang juga sudah mengadopsinya, seperti India, Venezuela, Tanzania,
Tunisia, Kamerun, dan Thailand.
4.
perspektif
metode partisipatif ( participatory methods ). Selama ini, baik pendekatan
moneter maupun kemampuan, melihat kemiskinan sebagai soal yang selalu
didefinisikan dari pihak luar ( externally imposed ), tanpa pernah melihat
kemiskinan dari perspektif kaum miskin sendiri ( views of poor people
themselves ). Pendekatan ini, yang diinisiasi oleh Chambers, bertujuan untuk
merombak dan mengubah praktik turun-temurun tersebut dengan melibatkan mereka
dalam pengambilan keputusan untuk mendefinisikan kaum miskin dan besaran (
magnitude ) kemiskinan. Konsep penilaian kemiskinan partisipatif (PPA/
participatory poverty assessment ) ini diadopsi dari konsep ' participatory
rural appraisal ' (PRA), yang didefinisikan sebagai metode memampukan
masyarakat lokal untuk berbagi, merencanakan, dan bertindak. 3 Secara
praktikal, pendekatan ini dibagi dalam tiga kategori, yakni:
a.
diasosiakan
dengan penentuan diri ( self-determination ) dan pemberdayaan
b.
diasosiakan
dengan peningkatan efisiensi program
c.
menekankan pada
pembelajaran yang saling menguntungkan ( mutual learning ).
Tentu saja pendekatan yang terakhir
ini lumayan rumit untuk diaplikasikan karena menyangkut aspek yang multiragam,
seperti sosial, budaya, ekonomi, dan lokalitas lingkungan politik. Tetapi,
kecenderungannya model ini sekarang mulai intensif dikerjakan karena dipandang
pendekatan-pendekatan terdahulu gagal untuk menuntaskan persoalan kemiskinan
secara meyakinkan. Apabila perspektif definisi dan pengukuran kemiskinan di
atas direlasikan dengan penanganan masalah kemiskinan di Indonesia, maka akan
didapati sebuah deskripsi yang menarik. seperti sudah dimengerti oleh semua
kalangan, persoalan kemiskinan ini telah ditangani oleh pemerintah sejak
puluhan tahun lalu, khususnya semasa pemerintahan Orde Baru. Beragam kebijakan
penanganan kemiskinan sudah diproduksi dengan tingkat intensitas dan besaran
yang berbeda- beda. Hasilnya, di samping terdapat beberapa program penanganan
kemiskinan yang cukup berhasil, juga terdapat banyak kebijakan kemiskinan yang
gagal mencapai tujuannya. Dan apabila diurai secara seksama, terdapat fakta
bahwa pemerintah telah mencoba menangani persoalan kemiskinan dari banyak
spektrum, di mana hal ini bisa diidentifikasi dari beragam kebijakan yang
diluncurkan. Kebijakan tersebut ada yang berbasis sektor (misalnya memisahkan
sektor pertanian, industri, dan jasa), wilayah (desa dan kota, atau wilayah
timur dan barat), dan alokasi sumberdaya (subsidi input, skema
keuangan/permodalan, dan distribusi/pemasaran). Serangkaian kebijakan
pengurangan angka kemiskinan tersebut, bila diurai secara detail bisa
digolongkan dalam tiga skema kebijakan.
Pertama , kebijakan kemiskinan yang
berbasis sektoral. Kebijakan ini fokus kepada sektor pertanian (dalam
pengertian yang luas, termasuk perikanan, kehutanan, dan perkebunan) karena
sektor ini dihuni oleh sebagian besar penduduk miskin di Indonesia. Kebijakan-
kebijakan yang diproduksi untuk mengembangkan sektor ini antara lain: subsidi
bibit, pupuk, kredit, dan lain-lain.
Kedua , kebijakan kemiskinan yang
berbasis wilayah. Disadari atau tidak, nampak dengan sangat jelas bahwa
perekonomian Indonesia terbagi secara geografis dalam dua kutub, yakni desa
dengan kota dan bagian timur dengan bagian barat. Wilayah kota digambarkan
sebagai lokomotif kegiatan ekonomi yang bertumpu kepada sektor industri dan
jasa, tempat di mana sebagian besar penduduknya memperoleh pendapatan
(kesejahteraan) di atas rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia.
Sebaliknya, wilayah desa dideskripsikan sebagai pusat kegiatan ekonomi tradisional
yang bertumpu pada sektor pertanian, sehingga sebagian besar penghuninya
tergolong miskin. Hal yang sama terjadi antara wilayah barat dan timur
Indonesia, di mana wilayah barat (khususnya Pulau Jawa) dianggap pusat kegiatan
ekonomi, sedangkan wilayah timur adalah pusat keterpurukan/ketertinggalan
ekonomi. Dengan peta tersebut tidak heran apabila sebagian kebijakan
pengurangan kemiskinan di Indonesia dikonsentrasikan di wilayah desa (misalnya
melalui kebijakan sektor pertanian dan IDT/Inpres Desa Tertinggal) dan wilayah
bagian timur (misalnya lewat kebijakan percepatan pembangunan wilayah timur).
Ketiga , kebijakan kemiskinan
berbasis alokasi sumberdaya. Persoalan kemiskinan bisa dilihat dari ketimpangan
sumberdaya ekonomi (yang salah satunya adalah soal permodalan) dan sumberdaya
manusia (keterbatasan pendidikan/ ketrampilan). Kebijakan peningkatan
sumberdaya manusia dijalankan lewat paket pelatihan-pelatihan, misalnya dengan
penciptaan Balai Latihan Kerja (BLK). Sementara itu, akibat ketiadaan aset
ekonomi yang bernilai hukum (misalnya tanah yang bersertifikat) menjadikan
sebagian besar masyarakat miskin tidak mampu mendapatkan akses modal terhadap
lembaga keuangan, karena ketiadaan agunan.
Di luar itu, memang masih terdapat
banyak kebijakan kemiskinan yang dikerjakan oleh pemerintah, namun dengan
semangat untuk mengatasi kondisi darurat akibat situasi ekonomi yang tidak
menentu, misalnya akibat krisis ekonomi atau kenaikan harga bahan bakar minyak.
Kebijakan itu antara lain adalah KIP (Kampung Improvement Program), P4K (Proyek
Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha
Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UEDSP
(Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PDM- DKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak
Krisis Ekonomi), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak
(PKPS-BBM), BLT (Bantuan Langsung Tunai), Raskin (pemberian beras untuk rakyat
miskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM), Community Development oleh perusahaan atau dikenal pula
dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), P4K (Program Peningkatan
Pendapatan Petani Kecil), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa
Tertinggal), dan JPS (Jaring Pengaman Sosial).
Dari seluruh rangkaian kebijakan
penanggulangan kemiskinan di atas, lepas dari beberapa keberhasilan yang
dicapai (misalnya program IDT dan kredit usaha kecil yang dilakukan oleh BRI) 5
, masih terdapat banyak kelemahan dari program-program kemiskinan tersebut. Jika
dipetakan, kelemahan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.
kebijakan
kemiskinan dilaksanakan secara seragam (general) tanpa mengaitkan dengan
konteks sosial, ekonomi, dan budaya di setiap wilayah (komunitas). Akibatnya,
kebijakan sering tidak relevan disatu tempat (komunitas), walaupun di tempat
(komunitas) lain program itu berhasil.
2.
definisi dan
pengukuran kemiskinan lebih banyak dipasok dari pihak luar ( externally imposed
) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis (moneter). Implikasinya, konsep
penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dan mereduksi hakikat dari
kemiskinan itu sendiri.
3.
penanganan
program kemiskinan mengalami birokratisasi yang terlampau dalam, sehingga
banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau panjang. Program
kredit atau subsidi kerap mengalami hal ini, di mana peluncurannya sering telat
dari jadwal yang ditentukan akibat prosedur birokrasi yang rumit.
4.
kebijakan
kemiskinan sering diboncengi dengan motif politik yang amat kental, sehingga
tidak memiliki makna bagi penguatan sosial ekonomi kelompok miskin. Pada masa
Orde Baru, sebagian program kemiskinan tersebut kerap diluncurkan menjelang
masa Pemilu dengan harapan (pemerintah yang berkuasa) dapat mendulang suara
dari rakyat (kecil).
5.
last but not
least , kebijakan kemiskinan kurang mempertimbangkan aspek kelembagaan sebagai
prinsip yang harus dikedepankan, sehingga sebagian kebijakan itu tidak berhasil
karena aturan main yang didesain tidak sesuai dengan kebutuhan. Implikasinya,
keberlanjutan dan kemanfaatan program kemiskinan tidak dapat dirasakan langsung
oleh kaum miskin.