A. Pendahuluan
Terjadinya Revolusi Islam Iran bukan tanpa usaha yang keras dari para tokoh revolusioner dan segenap rakyat Iran. Dimulai dari penolakan akan gagasan konsep Negara Republik yang diglontorkan dan diusahakan secara keras oleh raja Syah sampai berbagai demonstrasi para aktifis dari berbagai kalangan demi usaha menyelamtkan Iran dari Sistem yang sekuler dan lekat dengan westernisasi. Hanya satu yang mereka inginkan kesejahteraan rakyat Iran tanpa hegemoni barat apalagi menjadi penggemar berat bangsa Eropa seperti apa yang telah terjadi di Turki yang begitu sangat sekuler, yakni lewat satu rujukan mutlak yang tidak lagi bisa ditawar yaitu konsep Negara yang merujuk pada Islam semata.
Banyak tokoh sebetulnya yang berperan mengantarkan Iran pada Revolusi Islam Iran yang kokoh dan konsisten dengan system Negaranya. Sebut saja diantaranya Murtadho Muthahari, Ayatullah Khomeini, dan Ali Syari’ati. Mungkin tiga tokoh inilah pilar utama tetang gagasan revolusi Islam Iran yang penting kita kaji lebih dalam untuk bisa menagkap gagasan terpenting yang mereka tawarkan. Kali ini pemakalah akan mencoba mengkaji salah satu tokoh penting diatas yakni Ali Syari’ati yang sering digambarkan sebagai Ideolog “Revolusi Islam” Iran.
Yang menarik adalah makna penting Syari’ati yang tidak hanya terbatas bagi Iran saja, sebab ia adalah salah satu contoh dari suatu generasi baru kaum intelektual dan aktifitas politik berorientasi Islam yang hidup di hampir seluruh dunia muslim masa kini. Ali Syari’ati telah menjadi seorang tokoh Islam Internasional yang gagasan-gagasan dan tulisan-tulisannya ditelaah, doperdebatkan, dan diperbandingkan jauh di luar batas-batas negri Iran. Hal inipun tidak terelakan di Indonesia yang pada tahun 1980-an, banyak orang coba mengkaji dan memperbincangkan karya-karyanya.
B. Biografi dan Latar Belakang Keluarga
Ali Syari’ati lahir 24 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, propinsi Khorasan Iran dengan nama Muhammad Ali Mazinani. Dia adalah anak sulung sekaligus anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara, yakni Taherah, Tayebah, dan Batul (Afsaneh).[1] Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad. Sementara dari pihak ibunya Zahra, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya turut menginspirasi Ali. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri, yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra.
Ali hidup dalam lindungan keluarga penyayang dari masyarakat urban kelas menegah ke bawah. Zahra yang datang dari keluarga pemilik tanah pertanian yang sangat kecil, adalah sesorang yang memiliki dedikasi dan pekerja keras juga memiliki perhatian yang sangat besar terhadap kehidupan religiusnya. Ali dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana, dan tumbuh dengan dibekali pengertian bahwa moralitas dan etika adalah nilai-nilai yang mengangkat status dan kehormatan sosialnya, bukan uang.
Syari’ati adalah sosok yang tumbuh dengan pribadi yang berkarakter. Sifatnya yang tegas, keras, sensitif, kritis, dan kadang temperamental, diakui syariati adalah warisan dari sang ibu. Sedangkan ayahnya menurut Syari’ati adalah guru terbaiknya, ayahnyalah yang telah meberinya percaya diri dengan membekalinya ilmu dan metode berfikir ilmiah serta spirit politik dan etika.[2]
Menurut Ali Rahnema dalam pengantar salah satu buku karya Syari’ati mengatakan bahwa, semasa sekolah Syari’ati adalah anak yang tidak mudah bersosialisasi dengan teman-teman seusianya. Dia cenderung lebih suka menyendiri, tidak punya kontak dengan dunia luar dan tidak mau tahu dengan dunia luar. Karena itu ia tidak tampak sperti bermasyarakat.[3] Begitupun pada masa belajarnya di sekolah dasar yang berapor merah. Syariati kecil lebih dikenal sebagai “pemalas” dan “bodoh” karena sringnya terlambat, bolos, dan jarang mengerjakan PR. Namun dibalik buruknya ia disekolah, ali merupakan seorang anak memiliki minat baca yang tinggi, terutama membaca buku-buku ayahnya.
C. Islam Dan Revolusi
Wacana revolusi dalam Islam lebih berkembang pada khazanah pemikiran Islam kontemporer yang nota bene sedikit banyak telah bersentuhan dengan ilmu-ilmu social barat modern. Dari banyak pemikir muslim kontemporer, Syari’ati adalah salah seorang pemikir Iran abad 20 yang begitu akrab dengan wacana revolusi dalam pemikiranya, maka pada bab ini penulis akan membahas hal tersebut secara spesifik kepada penelusuran tentang kaitan islam dan revolusi dalam perspektif Ali syari’ati.
a. Dasar-dasar Revolusi
Dalam sebuah gerakan revolusi selain factor figur yang sangat memiliki peran besar, revolusi juga selalu memerlukan sebuah ideologi yang berfungsi sebagai dasar-dasar pergerakan, paradigm dan pembangun kesadaran bagi gerakan revolusi tersebut. Tidak ada sebuah gerakan revolusi tersebut tanpa mencapai tujuannya.
Hal yang sama menjadi perhatian Syari’ati dalammembangun sebuah gerakan revolusi. Syari’ati mlihat sebuah peranan yang sangat penting dari sebuah nilai-nilai dasar yang harus dibangun yang akan berfungsi sebagai ruh dari gerakan revolusi tesebut. Berikut inni akan pemakalah coba kaji prinsip-prinsip dasar apa saja yang dikembangkan oleh Syari’ati dalam rangka membangun ideologi dan paradigm revolusionernya.
1. Islam sebagai Ideologi
Sebagaimana telah disebutkan di awal, bahwa Islam yang dapat menjadi solusi dan membebaskan manusia adalah Islam sebagai ideologi. Islam sebagai ideologi adalah lawan model yang pertama yaitu Islam sebagai tradisi/ kebudayaan. Ideology secara harfiah yang berasal dari kata idea yang berarti pemikiran, daya khayal, konsep/keyakinan,kemudian logos berarti logika atau ilmu. Dengan dmikian ideologi dapat diartikan sebagai sbagai ilmu tentang keyakinan dan gagasan.
Bagi Syri’ati, revolusi adalah jawaban dan solusi bagi masyarakat muslim yang deawasa ini sedang mengalami masa keterpurukan dan kemunduran yang disebabkan oleh penindasan dari dari sebgala bentuk penjajahan. Menurut Ali Syari’ati saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda Negara dunia Ketiga, tak terkecuali Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya bentuk-bentuk korporasi multi nasional, rasisme, penindasan kelas, ketidak adilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westatoxication).[4]
Untuk dapat keluar dari kondisi krisis menuju Negara yang merdeka dan berkeadlian social-ekonomi, bagi Syari’ati bukanlah melalui Liberalisme, kapitalisme, ataupun sosialisme, namun yang dapat mengeluarkan umat Islam dari kondisi ini hanyalah Islam. Baginya Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelmatkan negri muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan. [5]
Syari’ati meyakini bahwa Islam sejatinya adalah agama yang membawa pesan dan ajaran penyelamat, pembebasan dan perubahan. Islam hadir sebagai jawaban dari segala bentuk kesatuan dan ketimpangan yang terjadi pada setiap manusia dan masyarakat. Demikian juga dengan turunya Islam ke muka bumi, Islam sebagai Ideologi yang diusung oleh Nabi SAW membawa orde social baru yang disandarkan pada prinsip keadalian dan persamaan dalam struktur social masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat arab yang sudah sekian lama merasa muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidak adilan, kesewenang-wenangan, dan rasisme. Masyarakat kala itu mulai menemukan. Islam sebagai ideologi mampu memberikan keyakinan baru yang berbasis kepad kemampuan bebas manusia untuk melepaskan diri dari jeratan system social dan politik tiranik.[6]
Dalam pandangan Syari’ati, Islam sebagai Ideologi diartikan sebagai sesuatu keyakinan yang dipilih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat. Ideology dibutuhkan, menurut Syari’ati untuk mengarahkan sutau masyarakat atau bangsa dalammencaai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi untuk mengubah dan menolak status Quo secara fundamental.
Setelah mengkonstruksi gagsannya tentang ieologi, Syari’ati menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakan oleh masyarakat yang menpunyai ideologi kokoh. Dalam dalam kondisi keterpurukan konteks iran, Syari’ati berfitkir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komperhensif, sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, utuk tujuan mahluk scara keseluruhan.[7] Di sinilah letaknya bahwa Islam brfungsi sebagai ideologirevolusi.
2. Paradigma Kaum Tertindas (Mustadh’afin)
Istilah mustadh’afin adalah sebuah kondisi dimana sesorang ataupun kelompok berada dalamkondisi yang tidak semestiya, maka pada posisi tersebut sesungguhnya dia ada dalam posisi lemah atau dilemahkan, tertindas atau ditindas. Kondisi seperti ini bias terjadi dalam berbagai hal, seperti dalam hal spiritual, social, ekonomi, budaya, bahkan politik. Ketertindasan itu tidak pernah berdiri sendiri,kalau ada yang ditindas maka ada yang menindas, baik itu bersifat terbuka atau terselubung, baik itu disadari ataupun tidak disadari.
Jika kita lihat konsep Syari’ati tentang hal ini (mustadh’afin) terlintas dalam benak akan kemiripan denagan konsep marxisme tentang perubahan social, dan kita memang sepakat bahwa secara tidak langsung Syari’ati adalah seorang Marxis yang anti Marxisme. Mengapa demikian, karna syari’ati terbukti menggunakan pisau analisis Marx yang digunakannya untuk menganalisis keadaan sosial bahkan untuk mengkrititisi marx itu sendiri. Yang berbda adalah Syari’ati melihat ketertindasan kaum mustadh’afin dalamkerangka yang sangat luas meliputi, spiritual, social, budaya, ekonomi, dan politik. Bahkan kalau analisis pertentangan kelas marx dikenal begitu materialis, maka analisis perjuangan kaum mustdh’afin Syari’ati dikenal sangat “spiritualis”. Hal ini salah satunya dapat kita lihat dari simbolisasi Syari’ati terhadap para nabi sebagai pemimpin kaum mustadh’afin.[8]
Menurut Syari’ati, salah satu misi utama dari ajaran islam adalah perjuangan membebaskan kaum mustadh’afin dari tangan yang penindas. Syari’ati mengatakan bahwa Nabi SAW adalah sebagai pembebas manusia dan pemimpin kaum tertindas (mustadh’afin). Bahkan seluruh nabi dan Rasul, menurutSyari’ati, telah bangkit menentang kaum tirani dengan memihak kepada kaum mustadh’afin.
Atas dasar itu, maka sebuah gerakan perubahan social atau revolusi adalah sebuah jawaban untukmenyelamtkn manusia dari ktertindasannya, dan sebuah revolusi akan terwujud apabila masyarakat yang telah mengalami penindasan tersebut sadat akan kondisinya. Kesadaran tersebut akan terbangun menurut Syari’ati adalah apabila paradigm perjuangan kaum tertindas (mustadh’afin) tertanam dalam setip mnusia yang tertindas atau ditindas. Maka bagi Syari’ati, sebuah rumusan paradigm perjuangan kaum tertindas yang berdasarkan jaran Islam menjadi prioritas untuk diwujudkan sebagai sebuah landasan perjuangan bagi setiap ummat Islam yang ingin bangkit dan merubah keadaan.
b. Langkah-langkah Menuju Revolusi
Setelah menggambarkan tentang beberapa hal yang menjadi prasyarat dasar untuk membangun sebuah rencana gerakan revolusi, selanjutnya Syari’ati memaparkan tentang langkah-langkah strategis yang harus dibangun dan dipersiapkan sebagai langkah teknis merealisasikan nilai-nilai dasar revolusi di tengah-tengah masyarakat, yang pada saatnya nanti merekalah yang akan menggerakan revolusi tersebut.
1. Membangun basis Massa sebagai Kekuatan Revolusi
Dalam sebuah gerakan revolusi banyak hal menjadi factor penting,penetu bahkan bersifat vital. Beberapa hal penting tersebut adalah tokoh revolusi, ideology, momentum revolusi, kekuatan massa dll. Banayak kalangan memandang bahwa factor penentu sebuah gerakan revolusi ada ditangan sebuah kelompok elit atau tokoh revolusi yang berpengaruh. Namun bagi Syari’ati hal tersebut bikanlah satu-satunya factor utama atau penentu, karena selain itu ada lagi hal yang tidak kalah penting dan utama, ialah kekuatan baisis massa yang menjadi factor mendasar sejarah dan perubahan ,asyarakat.
Bagi syari’ati baisis kekuatan utama sebuah gerakan revolusi ada ditangan kekuatan massa. Syari’ati mendefinisikan massa sbagai sebuah sosok manusia, yaitu manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai kaum intelektual, aristocrat, super, atau memiliki kelas sosiallainnya. Menurtnya, manusia sebagaimana yangdisebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah al-Nas (manusia) yang ditunjukan kepada seluruh manusia, ialah manusia yang bersifat sama dan tanpa klasifikasi tertentu.[9]
Dalam konteks revolusi Islam maka hal pertama dan utama yang harus terwujud adalah sebuah kekuatan massa yang memiliki kesadan ideologi islam sebagai nilai dasar geraknnya, dengan demikian yang harus dilakukan adalah melakukan upaya transformasi kesadaran ideologis terhadapmasyarakat shingga masyarakat mampu menyerap dan memahami Islam sebagai ideologi gerakan, yang dengan sendirinya masyarakat yang telah memilih kesadaran tersebut akan menjadi baisis gerakan revolusi.
Dari pemaparan diatas,sangat jelas bahwa massa menjadi salah satu komponenen penting bagi sebuah gerakan revolusi, karena massa dalam sebuah revolusi bukanlah berperan sebagi objek tetapi sebagi subjek pelaku perubahan. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa massa yang berperan sebagai objek adalah massa yang telah diradikalisasi, dalam artian massa idiologis adalah massa yang telah memilih denga sadar akan peranan dirinya masing-masing.
2. Para Kaum Intelektual Tercerahkan
Dalam sebuah proyeksi besar untuk melakukan sebuah gerakan perubahan revolusi, tidak cukup dengan hanya mlakukan propaganda yang bersifat wacana blaka. Gerakan perubahan yang dilakukan masyarkat akan terwujud apabila kesadaran untuk melakukan perubahan itu telah ditarnsfosmasikan secara sistematis sehingga meresap di masyarakat (massa). Pada posisi inilah harus ada sebuah eksponen yang berani mengambil peran sebgai aktor-aktor intelektual pnyebar “virus” kesadaran kepada masyarakat. [10]
Dalam hal ini Syari’ati menjabarkan pemikirannya tentang harus adanya aktor-aktor yang berperan sebagai ujung tombak revolusi, actor ini bertugas melakukan gerakan redikalisasi massa dengan kesadaran revolusioner. Syari’ati menyebutnaya denagan kaum intelektual yang tercerahkan. Menurut Syari’ati, mereka para Kaum Intelektual Tercerahkan merupakan para eksponen nyata dari Islam yang rasional dan dinamis, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan sebuah pencerahan dan revolusi Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual muslim menghubungkan dirinya dengan masyarakat, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakan keadilan.
Bagi Syari’ati, Kaum Intelektual Tercerahkan adalah inti dari pemikirannya tidak ada harapan untuk sebuah perubahan atau revolusi tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan social yang real, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah agen intelektual yang meradikalisasi massa yang sedang “tertidur lelap” menuju revolusi melawan penindas. Masayarakat dapat bergerak dan bangkit untuk melakukan revolusi dengan perubahan fundamental struktur social-politik adalah akibat dari peran besar Kaum Intelektual Tercerahkan.